Wirid Saloka Jati
Wirit Saloka Jati digelar sebagai upaya para
leluhur bangsa kita untuk menjabarkan keadaan jati diri kita. Sebagaimana
kebiasaan leluhur nenek moyang kita, dengan tujuan agar supaya “kawruh lan ngelmu” lebih mudah
dipahami para generasi penerus bangsa maka digunakanlah sanepa, saloka, kiasan,
perumpamaan, dan perlambang. Dalam acara ritual atau upacara tradisi;
perlambang, saloka, dan sanepa ini diwujudkan ke dalam ubo rampe atau
syarat-syarat yang terdapat dalam sesaji.
Serat ini menggelar arti dari kalimat kiasan
(saloka), yakni perumpamaan mengenai suatu makna yang dimanifestasikan dalam
bentuk peribahasa. Mulai dari eksistensi yang dicipta-Yang mencipta, eksistensi
jiwa, sukma, hingga eksistensi akal budi. Yang akan meneguhkan keyakinan kepada Gusti Pengeran (Tuhan Yang Mahamulia).
Peribahasa dalam terminologi Jawa sebagai “pasemon”
atau kiasan. Kiasan diciptakan sebagai pisau analisa, di samping memberi
kemudahan pemahaman akan suatu makna yang sangat dalam, rumit dicerna dan sulit
dibayangkan dengan imajinasi akal-budi. Berikut ini saloka yang paling sering
digunakan dalam berbagai wacana falsafah Kejawen.
Gigiring Punglu; Gigiring
mimis; Merupakan perumpamaan akan ke-elokan Zat Tuhan. Yakni perumpamaan hidup
kita, tanpa titik kiblat dan tanpa tempat, hanya berada di dalam hidup kita
pribadi.
Tambining Pucang; Menunjukkan
ke-elokan Zat Tuhan, ke-ada-an Tuhan itu dibahasakan bukan laki-laki bukan
perempuan atau kedua-duanya. Dan bukan apa-apa, seperti apa sifat sebenarnya,
terproyeksikan dalam sifat sejatinya hidup kita pribadi.
Wekasaning Langit; batas
langit ; umpama batas jangkauan pancaran cahaya. Yakni pancaran cahaya kita.
Sedangkan tiadanya batas jangkauan cahaya, menggambarkan keadaan sifat kita.
Wekasaning Samodra tanpa tepi; berakhirnya
samodra tiada bertepi; maksudnya ibarat batas akhir daya jangkauan rahsa atau
rasa (sirr). Mengalir sampai ke dalam sejatinya warna kita.
Galihing Kangkung; galih adalah bagian kayu yang keras atau intisari
di dalam pohon) galihnya pohon kangkung (kosong); maksudnya, perumpamaan
ke-ada-an sukma, yang merasuk ke dalam jasad kita. Ada namun tiada.
Latu sakonang angasataken samodra; bara api
setungku membuat surut air samodra. Menggambarkan keluarnya nafsu yang
bersinggasana di dalam pancaindra, dapat membuat sirna segala kebaikan.
Peksi miber angungkuli langit; burung
terbang melampaui langit. Menggambarkan kekuatan akal budi kita yang bersemayam
di dalam penguasaan nafsu, namun sesungguhnya akal budi mampu mengalahkan
nafsu.
Baita amot samodra; perahu
memuat samodra; baita atau perahu kiasan untuk badan kita, sedangkan samodra
merupakan kiasan untuk hati kita. Secara fisik hati berada di dalam jasad.
Tetapi secara substansi jasad lah yang lebih kecil dari hati.
Angin katarik ing baita ; angin
ditarik oleh perahu. Menggambarkan pemberhentian nafas kita dalam jasad,
sedangkan keluarnya nafas dari dalam jasad kita pula. Dalam jagad besar,
prinsip fisika merumuskan angin lah yang menarik atau mendorong perahu.
Sebaliknya dalam jagad kecil, rumus biologis maka badan lan yang menarik angin.
Ini menggambarkan prinsip imbal balik jagad besar dan jagad kecil.
Susuhing angin ; sarangnya
angin. Menggambarkan terminal sirkulasi nafas kita berada dalam jantung.
Bumi kapethak ing salebeting siti; bumi
ditanam di dalam tanah. Menggambarkan asal muasal jasad kita berasal dari
tanah, kelak pasti akan kembali (terkubur) menjadi tanah.
Mendhet latu adadamar (mengambil
bara sambil membawa api); atau latu wonten salebeting latu (bara di dalam
bara); atau latu binesmi ing latu (bara terbakar oleh bara); menggambarkan
badan kita berasal dari bara api, selalu
mengeluarkan api, keadaan untuk menggambarkan
sumber dan keluarnya hawa nafsu kita.
Barat katiup angin; atau angin
anginte prahara; angin tertiup angin. menggambarkan wahana yang menghidupkan
badan kita berasal dari udara, selalu mengeluarkan udara, yakni nafas kita.
Tirta kinum ing toya (air
tertelan oleh air), atau ngangsu rembatan toya (menimba dengan air); atau toya
salebeting toya (air di dalam air); menggambarkan badan kita berasal dari air,
selalu dialiri dan mengalirkan air,
maksudnya darah kita.
Srengenge pinepe, atau kaca
angemu srengenge; matahari terjemur, kaca mengandung matahari; artinya bahwa
adanya cahaya karena sinar dari sang surya. Surya itu sendiri berada di dalam
cahaya. Hal ini menggambarkan keadaan indera mata atau netra kita ; mata itu
seperti matahari, namun mata dapat melihat karena selalu disinari oleh sang
surya.
Wiji wonten salabeting wit (biji
berada dalam pohon); dan wit wonten salebeting wiji (pohon berada di dalam
biji) ; dinamakan pula “peleburan papan tulis”. Menggambarkan keadaan bahwa ZAT
Tuhan berada dalam wahana makhluk, dan makhluk berada dalam wahana Tuhan
(Jumbuhing kawula-Gusti).
Kakang barep adhine wuragil ; kakaknya
sulung, adiknya bungsu. Menggambarkan
martabat insan kamil, keadaan sejatinya diri kita. Hakekat kehidupan kita sebagai
“akhiran” dan sekaligus sebagai “awalan”. Pada saat manusia lahir dari rahim
ibu merupakan awal kehidupannya di dunia, sekaligus akhir dari sebuah proses
triwikrama atau tiga kali menitisnya “Dewa Wisnu” menjadi manusia melewati 4
zaman; kertayuga, tirtayuga, dwaparayuga, kaliyuga/mercapadha/bumi. Sedangkan
ajal, merupakan akhir dari kehidupan (dunia), namun ajal merupakan awal dari
kehidupan baru yang sejati, azali abadi.
Busana kencana retna boten boseni, atau
busana wrasta tanpa seret. Gambaran jasad yang dibungkus kulit sebagai
“busana”. Kita tidak pernah bosan biarpun tidak pernah ganti “busana” atau
kulit kita. Kulit merupakan “busana” pelindung dari tubuh kita.
Tugu manik ing samodra ;
menggambarkan daya cipta yang terus menerus berporos hingga pelupuk mata. Daya
cipta akal budi manusia jangkauannya umpama luasnya samodra namun
konsentrasinya terfokus pada mata batin.
Sawanganing samodra retna; pemandangan
intan samodra. Menggambarkan pintu pembuka kepada keadaan Tuhan. Tabir pembuka
hakekat Zat. Yakni “babahan hawa sanga” atau sembilan titik yang terdapat di
dalam diri manusia sebagai penghubung
kepada Zat Maha Kuasa. Disebut juga kori selamatangkeb; melar-mingkupnya maras
atau membuka-menutupnya mulut).
Samodra winotan kilat ; samodra
berjembatan kilat. Dalam Islam disebut jembatan “siratal mustaqim”.
Menggambarkan pesatnya yatma sampai pada ngabyantaraning Hyang Widhi. Adapula
yang mengartikan “jembatan kilat”, sebagai perlambang keluarnya ucapan mulut
manusia.
Bale tawang gantungan ; rumah atau
tempatnya langit bergantung. Dalam
terminologi Islam disebut arsy atau aras kursi atau kursi kekuasaan
Tuhan. Namun bukan dibayangkan sebagai singgasana yang diduduki Tuhan bertempat
di atas langit (ke 7), imajinasi demikian justru memberhalakan Tuhan
sebagaimana makhlukNya saja. Dalam
konteks ini, aras atau tawang gantungan adalah perumpamaan kekuasaan, yang menjadi
“wajah” Tuhan. Hakekatnya sebagai “balai sidang” Zat, keberadaannya di dalam
kepala dan dada. Sedangkan kursi, atau dilambangkan bale, merupakan perumpamaan
singgasana (palenggahan) Zat. Letaknya ada di otak dan jantung. Singkatnya,
kepala dan dada sebagai tawang gantungan, sedangkan otak dan jantung sebagai
bale-nya.
Wiji tuwuh ing sela; biji tumbuh
di atas batu. Dalam termonologi Islam diistilahkan laufhulmahfudz loh-kalam.
Loh/laufhul itu artinya papan atau tempat, sedangkan al makhfudz berarti
dijaga/kareksa. Maknanya adalah tempat yang selalu dijaga Tuhann. Yakni hakekat
dari “sifat” Zat yang terletak di dalam jasad yang selalu dijaga “malaikat”
Kariban. Malaikat merupakan perlambang dari nur suci (nurullah) atau cahyo
sejati. Cahyo sejati menjadi pelita bagi rasa sejati atau sirr. Sedangkan
loh-kalam artinya bayangan atau angan-angan Zat letaknya di dalam budi,
tumbuhnya angan-angan, dijaga oleh malaikat Katiban. Malaikat katiban adalah
pralambang dari sukma sejati yang selalu menjaga budi agar tidak mengikuti
nafsu.
Tengahing arah; titik tengahnya arah. Ibarat
mijan atau traju. Yakni ujung dari sebuah senjata tajam. Menggambarkan hakekat dari neraca
(alat penimbang) Zat. Traju terletak pada instrumen pancaindra yakni; netra
(penglihatan), telinga (pendengaran), hidung (pembauan), lidah dan kulit
(perasa). Dalam pewayangan dilambangkan sebagai Pendawa Lima; Yudhistira,
Bima/Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Makna untuk menggambarkan panimbang
(alat penimbang) hidup kita yang berada
pada pancaindra.
Katingal pisah ; terkesan
pisah. Menggambarkan keadaan antara Zat
(Pencipta) dengan sifatnya (makhluk) seolah-olah terpisah. Sejatinya antara Zat
dengan sifat tak dapat dipisahkan. Sebab
biji dapat tumbuh tanpa cangkok. Sebaliknya cangkok tidak tumbuh bila tanpa
biji. Biji menggambarkan eksistensi Tuhan, sedangkan cangkok menggambarkan
eksistensi manusia. Kiasan ini
menggambarkan hubungan antara kawula dengan Gusti. Walaupun seolah eksis
sendiri-sendiri, namun sesungguhnya manunggal tak terpisahkan dalam pengertian
“dwi tunggal” (loroning atunggil).
Katingal boten pisah; tampak
tidak terpisah. Menggambarkan solah dan bawa. Solah adalah gerak-gerik badan.
Bawa atau krenteg adalah gerak-gerik batin.
Solah dan bawa tampak seolah tidak terpisah, namun keduanya tergantung
rasa. Solah merupakan rahsaning karep (nafsu/jasad), sedangkan bawa merupakan
kareping rahsa (pancaran Zat sebagai rasa sejati). Keduanya dapat berjalan
sendiri-sendiri. Namun demikian idealnya adalah Solah harus mengikuti Bawa.
Katingal tunggal ; tampak
satu. Menggambarkan zat pramana (mata batin), dengan sifatnya yakni netra (mata
wadag) tidaklah berbeda. Artinya, penglihatan
mata wadag dipengaruhi oleh mata batin.
Medhal katingal;
Menggambarkan keluarnya sifat hakekat (Tuhan) ke dalam zat sifat (makhluk),
yakni ditandai dengan ucapan lisan menimbulkan suara.
Katingal amedhalaken;
menggambarkan keluarnya nafas. Sedangkan kenyataannya menghirup atau memasukkan
udara, yang seolah-olah mengeluarkan.
Menawi pejah mboten kenging risak; bila mati
tidak boleh rusak. Ibarat sukma dengan raga. Bila raga rusak, sukmanya tetap
abadi. Dalam terminologi Islam disebut alif muttakallimun wakhid. Sifat yang
berbicara sepatah tanpa lisan. Berupa kesejatian yang berada dalam sukma, yakni
roh kita sendiri.
Menawi karisak mboten saget pejah; bila
dirusak tidak bisa mati. Perumpamaan untuk hubungan nafsu dan rasa. Walaupun
nafsu dapat kita dikendalikan, namun rasa secara alamiah tidak dapat
disirnakan. Karena rasa dalam cipta masih terasa, terletak dalam rahsa/sirr
kita pribadi. Berhasil menahan nafsu dapat diukur dari perbuatannya; raganya
tidak melakukan pemenuhan nafsu, tetapi rasa ingin memenuhi kenikmatan jasad
tetap masih ada di dalam hati. Saloka ini untuk memberi warning agar kita
waspadha dalam “berjihad” melawan nafsu diri pribadi. Karena kesucian sejati baru dapat diraih
apabila keingingan jasad (rahsaning karep) sudah sirna berganti keinginan rahsa
sejati (kareping rahsa).
Sukalila tega ing pejah ; sukarela
dan tega untuk mati. Menggambarkan orang mau mati, dengan menjalani tiga perkara;
pertama,
sikap senang seperti merasa akan
mendapat kegembiraan di alam kasampurnan. Kedua, rela untuk
meninggalkan semua harta bendanya dan barang berharga. Ketiga, setelah tega meninggalkan semua yang dicinta,
disayang dan segala yang memuaskan nafsu dan keinginan, semuanya ditinggal. Mati di sini berarti
secara lugas maupun arti kiasan. Orang yang berhasil meredam hawa nafsu dan
meraih kesucian sejati hakekatnya orang hidup dalam kematian. Sebaliknya orang
yang selalu diperbudak nafsu hakekatnya orang yang sudah mati dalam hidupnya.
Yakni kematian nur atau cahaya sejati.
Semua yang disebut; besar, luas, tinggi,
panjang, lebih, ialah bahasa yang digunakan untuk mengumpamakan keadaan Tuhan.
Sebaliknya, semua yang disebut kecil, sempit, rendah, pendek, kurang, dan
seterusnya ialah bahasa yang dugunakan untuk menggambarkan “sifat” yakni
wujudnya kawula (manusia).
Gambaran menyeluruh namun ringkas mengenai
keadaan Zat-sifat (kawula-Gusti) sebagaimana “cangkriman” berikut ini;
“bothok
banteng winungkus ing godhong asem kabiting alu bengkong”
Bothok : sejenis pepesan untuk lauk, terdiri
dari parutan kelapa, bumbu-bumbu, lalu dibungkus daun pisang dan dikukus.
Bothok berbeda dengan pepes atau pelas, cirikhasnya ada rasa pedas. Campurannya
menentukan nama bothok, misalnya campur ikan teri, menjadi bothok teri.
Lamtoro, menjadi bothok lamtoro. Udang, menjadi bothok udang. Adonan bothok
lalu dibungkus dengan daun pisang. Dan digunakan potongan lidi sebagai pengunci
lipatan daun pembungkus.
Nah, dalam pribahasa ini bahan untuk membuat
bothok adalah hewan banteng. Sehingga namanya menjadi bothok banteng. Dibungkus
dengan daun asem jawa, yang sangat kecil/sempit. Sedangkan tusuk penguncinya
menggunakan alu semacam lingga terbuat dari kayu sebagai alat tumbuk padi. Alu
itu panjang dan lurus, namun alu di sini bengkok. Jadi mana mungkin digunakan
sebagai bothok.
Cangkriman di atas adalah pribahasa yang
menggambarkan keadaan yang tampak mustahil jika dipahami hanya menggunakan akal
budi saja. Bothok banteng maknanya adalah menggambarkan adanya Zat, yang tidak
lain adalah kehidupan kita pribadi. Godhong asem ; menggambarkan keadaan
“sifat” yakni sebagai bingkai kehidupan kita, kenyataan dari beragamnya
manusia. Alu bengkong, menggambarkan afngal semua, yakni pekerti hidup kita. Singkatnya, berdirinya hidup kita ini
asisinglon warna kita, tampak dari solah dan bawa. Selain makna di atas, bothok
banteng diartikan pula sebagai air mani. Godhong asem, adalah kiasan untuk
per-empu-an. Alu bengkong adalah kiasan untuk purusa, yakni kemaluan laki-laki.
Tumrape wong tanah jawi
Wong Agung hing ngeksi ganda Panembahan Senopati
Kapati hamarsudi, sudane howo lan nepsu
Pinesu topobroto, tanapihing siang ratri
Amemangun karianak tyasing sasomo
Samangsane pasamuan,
Memangun martomartani,
Sinambi hing saben masa,kalakalaning asepi
Lelana teki teki, ngayuh geyoganing kayun,
Kayungnyun heninging tyas, sanetyasa pinrihatin
Punguh pangah cegah dahar lawan nindra
Saben nindri saking wisma
Lelono laladan sepi
Ngisep sepuhing supana,mrih prana pranaweng kapti
Titising tyas marsudi, mardawaning budi tulus
Mesu reh masudarman,neng tepining jolo nidhi
Sruning brata kataman wahyu jatmiko
(petilasaan tarekat sang Panembahan)
Wong kang ambudi daya kalawan
anglakoni tapa utawa semedi kudu kanthi kapracayan kang nyukupi apa dene
serenging lan kamempengan anggone nindhakake. Atine kudu santosa temenan supaya
wong kang nindhakake sedyane mau ora nganti kadadeyan entek pengarep-arepe yen
kagawa saka kuciwa dening kahanane badane, wong mau kudu nindakake pambudi
dayane luwih saka wewangening wektu saka katamtuwaning laku kang dikantekake
marang sawiji-wijining mantram lan ajaran ilmu gaib awit gede gedening kagelan
iku ora kaya wong kang gagal enggone nindakake lakune rasa kuciwa kang mangkono
iku nuwuhake prihatin lan getun, nganti andadekake ciliking ati lan enteking
pangarep-arep. Sawise wong mau entek pangarep arepe lumrahe banjur trima bali
bae marang panguripan adat sakene mung dadi wong lumrah maneh.
Kawruhana wong kang lagi miwiti ngyakinake ilmu gaib sok sok dheweke
iku mesthi nemoni kagagalan kagagalan kang nuwuhake rasa kuciwa. Sawijining
wewarah kang luwih becik tumrap wong kang lagi nglakoni kasutapan iya iku ati
kang teguh santosa aja kesusu-susu lan aja bosenan ngemungake wong kang
anduweni katetepan ati lan santosaning sedya sumedya ambanjurake ancase iya iku
wong kang bakal kasembadan sedyane. Wong ngyakinake prabawa gaib iku anduweni
kekarepan supaya dadi wong lanang temenan kang diendahake dening wong akeh, iya
ana ing ngendi wae enggone nyugulake dirine,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar